Perbedaan Idul Fitri dengan Kesamaan Cara Pandang yang Toleran

KH. Abdurrosyid Ahmad

Berbeda Idul Fitri itu sudah sangat biasa terjadi dalam sejarah umat Islam di Indonesia. Karena itu, jika besok pun seandainya terjadi perbedaan lagi maka kita akan menghadapinya sebagai kebiasaan dan sebagaimana kebiasaan yang biasa.

Tidak ada hal yang luar biasa mengenai perbedaan ini. Jika kita menghadapinya tidak sebagai kebiasaan dan sebagaimana kebiasaan yang biasa, justru sikap demikian menjadi yang luar biasa.

Semua tafsir terhadap Agama, termasuk fiqih atau hukum Islam berikut metode perumusannya, semuanya berstatus “dzonni” yaitu pengetahuan manusia yang bersifat tidak mutlak kebenarannya: benar dalam status “hal yang diyakini sebagai yang benar bagi sang penafsir atau pengikutnya”.

KEBENARAN yang mutlak dan absolut hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya, sementara kebenaran yang kita yakini bersumber dari keduanya hanya sampai pada derajat kebenaran yang dzonni. Kita semua umat Islam penting memahami prinsip ini dan menerapkannya dalam sikap keberagamaan kita. Jika tidak, justru kita akan terjatuh pada kezaliman dan keekstreman.

Energi umat Islam di Indonesia (menurut saya) bukan untuk menyatukan Idul Fitri. Demikian juga energi Pemerintah untuk umat Islam di Indonesia. Karena hal awal bulan (terkait dalam hal ini awal puasa Ramadhan, Idul Fitri, Haji Arafah, Idul Adha). Karena perbedaan metode penetapan awal bulan itu masing-masing telah memenuhi prinsip-prinsip atau kaedah metodologi ilmiah yang didasari dengan keyakinan/kemantapan hati untuk melakukan suatu perbuatan Ibadah.

Arab Saudi ataupun Mesir, atau negara-negara lainnya tidak dapat dijadikan sebagai dasar atau rujukan kita dalam hal ini ataupun dalam hal produk hukum Islam lainnya.

Dalam hal-hal seperti ini, sesungguhnya energi kita lebih tepat untuk membuka hati menerima fakta perbedaan metodologi dan produknya tanpa perlu dibesar-besarkan.

Kapan kita Indonesia akan satu Idul Fitri? Jawabannya, ketika hasil Hisab (fakta logis) sama dengan hasil Rukyat (fakta empiris).

Adapun keputusan pemerintah mengenai penetapan awal bulan, keputusan itu sifatnya dalam rangka memenuhi unsur kewajiban pemerintah selaku yang berwenang untuk menetapkan keputusan secara resmi negara, bukan keputusan yang bersifat mutlak dan mengikat kepada semua umat Islam untuk mematuhinya, bukan keputusan dengan konsekuensi sanksi hukum terhadap yang menyelisihinya.

Berbeda halnya dengan produk hukum Islam yang ditetapkan di Indonesia dalam bentuk menjadi produk hukum positif undang-undang seperti UU Perkawinan, UU Zakat, UU Haji, UU Produk Halal. Karena dalam wujud UU, maka bersifat mengikat dan memiliki sanksi hukum.

Abdurrosyid

Scroll to Top